Dia,
Lelaki
yang sangat tegar yang berusaha menutupi degup yang berlarian, denyut yang
bersahut-sahutan, sepersekian menit sebelum ALLAH SWT memberi hadiah terbaik
untuk beliau yang berwujud ''aku''.
Lelaki
yang rupanya pertama kali aku lihat ketika ALLAH SWT menitip roh di ragaku yang
belum begitu berdaya.
Lelaki
yang pertama kali menghujani telingaku dengan senandung adzan milik ALLAH SWT.
Dia,
Seseorang
yang tabah yang merelakan pori-porinya terus menangis demi mewujudkan sebuah
sabit di bibirku.
Seseorang
yang tak pernah mengenal lelah, tak mengenal kalah, pun jengah hanya demi
seorang AKU.
Seseorang
yang tak pernah mengerti bagaimana membuat pilu membeku.
Seseorang
yang sangat sabar, tak mengenal keluh.
Seseorang
yang mampu merangkap diri sekaligus menjadi mama.
Seseorang
yang satu-satunya tak pernah sedikitpun merasa jijik dengan apapun yang
membuatku terlihat tak menarik.
Seseorang
yang selalu merelakan jemari rapuhnya membasuh segala resahku hingga kembali
cantik.
Dia,
Satu-satunya
lelaki yang tak mengizinkanku disentuh sedikitpun oleh yang lain.
Satu-satunya
lelaki yang begitu rapat memagari peraduan bunga miliknya.
Satu-satunya
lelaki pendiam yang memiliki duri tajam dimatanya atas lelaki lain yang mencoba
mendekatiku.
Satu-satunya
lelaki yang cintanya begitu besar tanpa ada bandingannya.
Satu-satunya
lelaki yang tak pernah membiarkan tangan asing membuat bunganya usang.
Dia
itu KAU.
Dia,
Lelaki
yang hingga saat ini tak pernah berhenti menyunggingkan sebuah senyum sederhana
di wajahnya yang mulai berkerut.
Lelaki
yang menantang keras rautku merengut.
Lelaki
yang tak menginginkan ku mengenal apa itu kalut.
Lelaki
yang tak pernah sekalipun menerbitkan duka di parasnya.
Lelaki
yang tak pernah memandikan matanya dengan satu atau bahkan jutaan hujan.
Lelaki
yang tak pernah memintaku menjadi apa yang ia inginkan.
Pa.
ku tahu,
Kini
usiamu sudah separuh abad.
Kini,
aku yang sudah menginjak usia delapan belas tahun, lalu membuat jantungmu
seperti ingin melepaskan diri, yang membuat isi kepalamu meracau berkali-kali,
mulai beranjak dewasa.
Kini,
gadis kecilmu telah mulai memahami arti hidup.
Mulai
mengerti hal-hal
yang dahulu kerap kau sembunyikan dengan alasan ‘Anak kecil tak boleh tahu’.
Ah,
kau memang lucu, Pa.
Ketahuilah,
Pa, kini gadis kecilmu yang dulu kerap merengek meminta apapun dan harus segera
terpenuhi.
Kini
gadis kecilmu yang dulu mulai mengerti apa alasanmu yang begitu banyak melarang
ini itu.
Pun
mulai memahami mengapa dahulu kecemasanmu yang begitu menjelaga setelah tahu
kulitku sedikit saja berdarah karena ulah nakalku sendiri.
Akulah
denyut yang sengaja kau alirkan di tubuhmu. Akulah gadis kecil yang dulu begitu
kau jaga hingga akhirnya kini mampu menulis segala tentangmu.
Pa.
Maafkan
aku yang kerap membuat hatimu meledak-ledak,
Maafkan
aku yang seringkali tak begitu peka akan keinginanmu,
Maafkan
aku yang tak mengenali lelahmu yang sebenarnya membutuhkan sapaan jemariku,
Maafkan
aku yang tak menyadari rindumu yang kerap lupa ku sambut dengan riangnya peluk,
Maafkan
aku yang (terkadang) membuat kita lupa akan berbagi suara sebab aktivitas yang
berbeda,
Maafkan
aku yang kerap membuatmu muram hingga akhirnya mengalah demi tawaku,
Maafkan
aku yang (terkadang) melalaikan perintahmu,
Maafkan
aku yang (terkadang) melupakan nasihatmu, melanggar larangan tegasmu,
Maafkan
aku yang (terkadang) tak memperdulikan ucapanmu,
Maafkan
aku yang (terkadang) menggerutu ketika amarahmu sedang melagu.
Pa.
Aku
tahu cintamu amat besar meski tak pernah kau umbar,
Aku
tahu senyum di bibirmu terkadang hanyalah tegar yang kau perankan dengan begitu
baik dan sangat sabar,
Aku
tahu ada banyak beban yang bergelayut di pundakmu yang mulai renta,
Aku
tahu ada banyak racauan dunia di kepalamu,
Aku
tahu ada banyak lelah tenpias di lengan dan kakimu yang mulai rapuh.
Pa.
Entah
bagaimana caraku berterimakasih atas segala yang telah kau berikan untukku,
Karena
setahuku, apapun itu, pasti tak akan pernah bisa senilai dengan segalamu atas
aku.
Karena
setahuku, surga pun seharusnya di balas dengan surga pula.
Pa.
Aku
ingin sedikit kau tahu, sengaja jemariku mengetikkan ini—meski nantinya aku tak
tahu akan kau baca atau tidak—untuk berterima kasih atas surga yang telah kau
wujudkan dalam nyata.
Terima
kasih telah menjadi sosok yang abadi di hidupku, Pa.
Terima
kasih, sebab ragamu yang tak pernah mengajariku tentang ragu,
Terima
kasih, sebab tabahmu yang menjadi nadi ditubuhku,
Terima
kasih, sebab aliran do’amu yang menjauhkanku dari tepian dahaga,
Terima
kasih, sebab sederhanamu yang menyempurnakan aku.
Pa.
Terima
kasih, telah menjadi imam yang baik untuk keluarga,
Terima
kasih, telah menjadi sosok papa sekaligus sahabat yang bahkan lebih dari
sempurna,
Terima
kasih untuk tak pernah memaksakan kehendakmu padaku,
Terima
kasih sebab terus membelaku, meski terkadang aku yang berbuat kekhilafan,
Terima
kasih telah memberikan-ku batasan untuk apapun yang dunia berikan.
Pa.
Nanti,
ketika kau sempat membaca tulisan ini, semoga kita masih sama-sama mampu
menghirup udara, memijak bumi,
dan menatap
langit. Lalu, kau tersenyum hingga akhirnya kita kembali berbagi peluk yang
kini mulai jarang kita lakukan seperti dahulu saat usiaku masih di bawah
hitungan belas. Atau mungkin, setelah membaca ini, kau pun terbahak-bahak tanpa
sesak pun isak, lalu kau menjitak kecil kepalaku hingga tawa kita beradu, pecah
nan gembira.
Pa.
Tetaplah
menjadi purnama dimataku, juga sabit di bibirku.
Tetaplah
menjadi temaram yang hadir di lelap kepalaku.
Tetaplah
menjadi seseorang yang aku kenal selama enambelas tahun, sebelas bulan dan 31
hari ini.
Mungkin
memang, tulisan ini hanyalah sepotong kecil dari rasa syukurku atasmu. Sebab,
ketahuilah pa, sempurnamu tak akan pernah cukup dituliskan hanya dengan
sesederhana ini.
Namun,
lebih dari ini semua, ketahuilah Pa, aku begitu-amat-sangat mencintaimu.
Sungguh~
Dari Aku;
Seseorang yang akan terus menjadi gadis
kecilmu, yang tak peduli berapapun usiaku.