A luckiest daughter. A good little sister. A happy friend~

Sabtu, 18 April 2015

D I A

Dia,
Lelaki yang sangat tegar yang berusaha menutupi degup yang berlarian, denyut yang bersahut-sahutan, sepersekian menit sebelum ALLAH SWT memberi hadiah terbaik untuk beliau yang berwujud ''aku''.
Lelaki yang rupanya pertama kali aku lihat ketika ALLAH SWT menitip roh di ragaku yang belum begitu berdaya.
Lelaki yang pertama kali menghujani telingaku dengan senandung adzan milik ALLAH SWT.

Dia,
Seseorang yang tabah yang merelakan pori-porinya terus menangis demi mewujudkan sebuah sabit di bibirku.
Seseorang yang tak pernah mengenal lelah, tak mengenal kalah, pun jengah hanya demi seorang AKU.
Seseorang yang tak pernah mengerti bagaimana membuat pilu membeku.
Seseorang yang sangat sabar, tak mengenal keluh.
Seseorang yang mampu merangkap diri sekaligus menjadi mama.
Seseorang yang satu-satunya tak pernah sedikitpun merasa jijik dengan apapun yang membuatku terlihat tak menarik.
Seseorang yang selalu merelakan jemari rapuhnya membasuh segala resahku hingga kembali cantik.

Dia,
Satu-satunya lelaki yang tak mengizinkanku disentuh sedikitpun oleh yang lain.
Satu-satunya lelaki yang begitu rapat memagari peraduan bunga miliknya.
Satu-satunya lelaki pendiam yang memiliki duri tajam dimatanya atas lelaki lain yang mencoba mendekatiku.
Satu-satunya lelaki yang cintanya begitu besar tanpa ada bandingannya.
Satu-satunya lelaki yang tak pernah membiarkan tangan asing membuat bunganya usang.

Dia itu KAU.

Dia,
Lelaki yang hingga saat ini tak pernah berhenti menyunggingkan sebuah senyum sederhana di wajahnya yang mulai berkerut.
Lelaki yang menantang keras rautku merengut.
Lelaki yang tak menginginkan ku mengenal apa itu kalut.
Lelaki yang tak pernah sekalipun menerbitkan duka di parasnya.
Lelaki yang tak pernah memandikan matanya dengan satu atau bahkan jutaan hujan.
Lelaki yang tak pernah memintaku menjadi apa yang ia inginkan.

Pa. ku tahu,
Kini usiamu sudah separuh abad.
Kini, aku yang sudah menginjak usia delapan belas tahun, lalu membuat jantungmu seperti ingin melepaskan diri, yang membuat isi kepalamu meracau berkali-kali, mulai beranjak dewasa.
Kini, gadis kecilmu telah mulai memahami arti hidup.
Mulai mengerti hal-hal yang dahulu kerap kau sembunyikan dengan alasan ‘Anak kecil tak boleh tahu’.
Ah, kau memang lucu, Pa.

Ketahuilah, Pa, kini gadis kecilmu yang dulu kerap merengek meminta apapun dan harus segera terpenuhi.
Kini gadis kecilmu yang dulu mulai mengerti apa alasanmu yang begitu banyak melarang ini itu.
Pun mulai memahami mengapa dahulu kecemasanmu yang begitu menjelaga setelah tahu kulitku sedikit saja berdarah karena ulah nakalku sendiri.
Akulah denyut yang sengaja kau alirkan di tubuhmu. Akulah gadis kecil yang dulu begitu kau jaga hingga akhirnya kini mampu menulis segala tentangmu.

Pa.
Maafkan aku yang kerap membuat hatimu meledak-ledak,
Maafkan aku yang seringkali tak begitu peka akan keinginanmu,
Maafkan aku yang tak mengenali lelahmu yang sebenarnya membutuhkan sapaan jemariku,
Maafkan aku yang tak menyadari rindumu yang kerap lupa ku sambut dengan riangnya peluk,
Maafkan aku yang (terkadang) membuat kita lupa akan berbagi suara sebab aktivitas yang berbeda,
Maafkan aku yang kerap membuatmu muram hingga akhirnya mengalah demi tawaku,
Maafkan aku yang (terkadang) melalaikan perintahmu,
Maafkan aku yang (terkadang) melupakan nasihatmu, melanggar larangan tegasmu,
Maafkan aku yang (terkadang) tak memperdulikan ucapanmu,
Maafkan aku yang (terkadang) menggerutu ketika amarahmu sedang melagu.

Pa.
Aku tahu cintamu amat besar meski tak pernah kau umbar,
Aku tahu senyum di bibirmu terkadang hanyalah tegar yang kau perankan dengan begitu baik dan sangat sabar,
Aku tahu ada banyak beban yang bergelayut di pundakmu yang mulai renta,
Aku tahu ada banyak racauan dunia di kepalamu,
Aku tahu ada banyak lelah tenpias di lengan dan kakimu yang mulai rapuh.

Pa.
Entah bagaimana caraku berterimakasih atas segala yang telah kau berikan untukku,
Karena setahuku, apapun itu, pasti tak akan pernah bisa senilai dengan segalamu atas aku.
Karena setahuku, surga pun seharusnya di balas dengan surga pula.

Pa.
Aku ingin sedikit kau tahu, sengaja jemariku mengetikkan ini—meski nantinya aku tak tahu akan kau baca atau tidak—untuk berterima kasih atas surga yang telah kau wujudkan dalam nyata.

Terima kasih telah menjadi sosok yang abadi di hidupku, Pa.
Terima kasih, sebab ragamu yang tak pernah mengajariku tentang ragu,
Terima kasih, sebab tabahmu yang menjadi nadi ditubuhku,
Terima kasih, sebab aliran do’amu yang menjauhkanku dari tepian dahaga,
Terima kasih, sebab sederhanamu yang menyempurnakan aku.

Pa.
Terima kasih, telah menjadi imam yang baik untuk keluarga,
Terima kasih, telah menjadi sosok papa sekaligus sahabat yang bahkan lebih dari sempurna,
Terima kasih untuk tak pernah memaksakan kehendakmu padaku,
Terima kasih sebab terus membelaku, meski terkadang aku yang berbuat kekhilafan,
Terima kasih telah memberikan-ku batasan untuk apapun yang dunia berikan.

Pa.
Nanti, ketika kau sempat membaca tulisan ini, semoga kita masih sama-sama mampu menghirup udara, memijak bumi, dan menatap langit. Lalu, kau tersenyum hingga akhirnya kita kembali berbagi peluk yang kini mulai jarang kita lakukan seperti dahulu saat usiaku masih di bawah hitungan belas. Atau mungkin, setelah membaca ini, kau pun terbahak-bahak tanpa sesak pun isak, lalu kau menjitak kecil kepalaku hingga tawa kita beradu, pecah nan gembira.

Pa.
Tetaplah menjadi purnama dimataku, juga sabit di bibirku.
Tetaplah menjadi temaram yang hadir di lelap kepalaku.
Tetaplah menjadi seseorang yang aku kenal selama enambelas tahun, sebelas bulan dan 31 hari ini.
Mungkin memang, tulisan ini hanyalah sepotong kecil dari rasa syukurku atasmu. Sebab, ketahuilah pa, sempurnamu tak akan pernah cukup dituliskan hanya dengan sesederhana ini.
Namun, lebih dari ini semua, ketahuilah Pa, aku begitu-amat-sangat mencintaimu.
Sungguh~


Dari Aku;
Seseorang yang akan terus menjadi gadis kecilmu, yang tak peduli berapapun usiaku.