A luckiest daughter. A good little sister. A happy friend~

Minggu, 31 Mei 2015

Monolog Akhir

Bunga-bunga telah jatuh di tanah yang basah. Pada akhirnya, semua orang akan sampai di titik ini. Titik ketika kita menyadari bahwa di dalam hidup ini ada hal-hal yang tidak bisa kita tolak. Jerawat di pipi. Rambut yang rontok. Patah hati. Bencana alam. Kematian. Dan di saat itu, bersedih bukan lagi menjadi suatu pilihan. Bukannya tidak sakit. Rasanya memang sakit, tapi bersedih bukan lagi menjadi pilihan sikap. Kita akan lebih memilih mengesampingkan sakitnya, menikmati yang bisa dinikmati, dan berjalan dengan dagu terangkat. Beberapa orang menyebut itu kedewasaan. Beberapa bilang ketegaran. Beberapa lagi, termasuk si orangtua itu, menyebutnya mati rasa. Setiap manusia memiliki kepedihan dan rahasianya masing-masing. Hidup selalu selangkah lebih maju, memilihkan kita jalan dengan liku dan terjal yang sedemikian rupa. Hidup juga selalu menyisipkan jalan-jalan keluar yang semacam iguana. Tersamar dalam warna, sampai-sampai menjadi semacam tidak ada. Dan oleh karena itu, setiap manusia akan selalu punya cerita dan misterinya masing-masing. Tapi, tidak semua mau membaginya, dan kalopun ada yang membagikannya, tidak semua mau mendengarkannya kan? Ya sudah itu saja.

Monolog Akhir Bulan.

Selasa, 19 Mei 2015

knew, I loved you.

Hari ini, saya sampai pada suatu rasa; meski saya tak tahu apa namanya. Banyak yang bilang ini kagum semata, tapi hati bilang ini lebih seperti cinta. Mengenalmu saya belumlah diizinkan semesta, apalagi untuk berbagi kata-kata. Hanya bisik-bisik dari banyak bibir yang bilang betapa sempurnanya kamu, sesuai dengan debar yang tetiba datang bertamu ketika nanti pandangan kita tak sengaja bertemu.
Di mataku, kamu adalah setoples kekaguman, penghantar senyuman, roda inspirasi, dan peta kebahagiaan yang melebur dalam satu rasa yang nampaknya masih begitu rahasia. Saya belum ingin mengintrogasi hati, karena masih ingin jadi pemerhati dari tirai tersembunyi. Melakoni peran sesosok yang memiliki perasaan diam-diam. Mengoleksi segala gerak-gerikmu yang selalu menyentil kornea ini. Dibalik ketidaktahuanku tentangmu, saya ingin ada di tengah-tengah pusat pencarianmu. Saya ingin ada disitu sampai kamus kepalaku penuh dengan semua tentangmu. Saya pun bingung, mengapa hati lebih dulu mengagumi padahal tak tahu ini itu tentangmu.
Segala sesuatu tentangmu di dunia yang jauh daripada nyata, seakan mampu menghibur dengan tidak biasa. Lalu secara bertahap rasa kagum hadir dengan cara yang sama. Bagaimana bisa ada rasa yang bertumbuh, sebelum tatap mata bertemu lebih jauh? Diam-diam saya mencari tahu tentang kamu, di antara kabar-kabar yang tersebar dengan lebih jitu. Diam-diam saya mengharapkan adanya sebuah temu, meski sepertinya tampak ganjil. Diam-diam kamu mengganggu di bagian hati yang paling kecil.
Yang kuinginkan, ini hanya sementara. Sebab untuk selamanya, kuinginkan kita telah bersama, saling mencipta berbagai bentuk gembira. Yang kuangankan, menjadi alasanmu menggapai bahagia. Sebab kamu telah lebih dahulu menjadi pembawa sukacita, bahkan sebelum kita menjadi nyata. Betapa ajaib sebuah rasa hingga mampu meletupkan jutaan asa di dalam dada. Sementara tentangmu saja aku masih belum tahu apa-apa. Seperti berjalan dalam gelap, namun aku tahu ke mana kaki harus melangkah. Sebab hadirmu dalam hati, sudah menjadi penerang arah.
Pada setiap kagum, ada pergerakan detak yang saling berdentum. Tanpa harus sering-sering temu kuhitung, namamu tersebar layaknya reklame di tiap sudut relung. Pada suatu detik, saya ingin naik ke suatu panggung untuk mengenalimu lebih dari sekedar melihat saat berbalik punggung. Tapi di detik yang lain, beraniku belum cukup usia untuk menampakkan apa yang sebenarnya kurasa. Entah mana yang lebih baik, berada disini selamanya tanpa kau tahu apa-apa atau memberitahumu secepatnya tentang apa yang menganjal dada? Atau lebih baik berada di antara, tunggu semesta yang menjadi pengantara?
Di balik tundukkan kepala untuk meredam segala debaran yang kurasa, ada kecil harapan supaya kita bisa saling kenal di waktu yang sesungguhnya. Di balik kagum yang diam-diam masih kusemai, ada keinginan supaya rasaku padamu akan sampai. Semesta belum mengizinkan, pun saya mungkin belum siap untuk dihadiahi sebuah pertemuan. Semisal nanti kita dipertemukan di pertengahan jalan, entah akan dengan cara apa bahagia mampu untuk kuungkapkan. Mungkinkah itu kamu, yang akan melengkapiku menjadi kita? Mungkinkah itu kamu, yang akan menjadi kuala dari segala debar dalam dada? Meski belum menjadi siapa-siapa, bukan berarti saya tak pernah ingin kita saling menyapa. Setiap kamu melintas, ada pandanganku yang tak mau lepas. Setiap kamu tersenyum, ada dadaku berdentum.
I knew I loved you^^