Aku pamit.
Kalimat
itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama
ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus
lagi. Ia justru mematikan handphonenya. Menyimpan di bawah bantal.
Kemudian, ia menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya
kata pamit. Semua berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata,
pikirnya. Perempuan itu lalu sejenak terdiam, menatap dinding birunya
yang mengusam, membaca lembar demi lembar catatannya yang menuliskan
semua perasaannya.
Perempuan sembilan belas tahun itu masih menangis.
Dua tahun berteman, tanpa kata cinta
layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asmara, dua orang ini justru
saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu,
tabir-tabir tersingkap dan mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang
ada di hati mereka. Tidak ada tali apapun
yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalaupun ada,
mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan. Perempuan
itu, dua tahun menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama. Sungguh
singkat sebenarnya.
Tidak ada yang tahu, tapi sesosok
laki-laki yang ia beri nama “Langit” mengerti dan memahami. Sesosok
laki-laki itu membuatnya memiliki harapan. Jauh perjalanan mereka.
Harapan-harapan itu menggantung dalam doa. Hingga perempuan itu kini
mendapati banyak “Langit” yang juga siap memantulkan warna birunya
untuknya. Perempuan itu jengah. Bukan ia berhenti mencintai Langitnya,
tapi karena ia mengerti satu hal. BELUM SAATNYA MENCINTAI LANGIT.
Sungguh belum saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat
itu.
Aku pamit.
Kalimat itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya ia hilangkan lagi dengan tombo lbackspace.
Perempuan itu akhirnya terdiam. Ia tahu hatinya sungguh lemah.
Berkali-kali kata pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau
pamit dari tuannya.
Maka ia memutuskan untuk diam, berusaha
menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit pada perasaan yang pernah ia sebut
cinta. Diam-diam, ia pamit pada kata penantian yang pernah memenuhi
halaman buku catatannya. Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan
sebagaimana mestinya tanpa perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan.
Diam-diam, ia berhenti mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan
Langit. Diam-diam, ia menutup semua ceritanya sendirian. Perempuan itu
menjadi tegar.
Ia tengah asyik bercerita dengan taman
bunganya. Ia tengah asyik bercengkerama dengan bunga-bunganya yang
mekar. Ia tengah asyik mensyukuri karunia-Nya. Ia tengah asyik belajar
bagaimana caranya menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik.
Tidak ada yang berubah. Ia memilih pamit. Dan lihatlah, Tuhan menguatkan
hatinya.
Mungkin, di suatu waktu, hari, dan
tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali bertemu dengan Langit. Ia
harus menatap birunya, bahkan bercengkerama dengan matahari dan bulan
bintangnya. Bahkan, mungkin, perempuan itu juga berkesempatan untuk
menjelajahi isi Langit. Mungkin. Jika seseorang yang ia sebut Langit itu
dia yang membuat ia menangis malam ini, maka memang garis
Tuhan menitahkan begitu. Jika bukan, Langit itu pasti tetap biru dan
membuatnya bahagia. Karena takdir Tuhan tidak akan pernah tertukar.
Perempuan itu lalu tersenyum di antara
bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia tidak tahu apa yang ada di dalam
hati seseorang yang ia sebut Langit itu. Mungkin, ia masih menyimpan
harapan. Mungkin, di dalam hati perempuan itu juga. Aku juga tidak tahu
isi hatinya. Aku hanya seonggok buku yang pernah ditulis oleh perempuan
itu. Aku pernah tahu tentang semua isi hatinya. Ah, tapi perempuan itu
sekarang benar-benar merahasiakan tentang perasaannya. Yang aku tahu,
penanya selalu mengatakan, “dia yang mengatakan pada yang membuatku ada,
yang akan mendapatkan jawabannya.”
Kalau takdir sudah berkehendak, maka
tidak ada apapun yang bisa memisahkan. Melalui pena ini, kukembalikan
hati yang pernah kujaga. Kukembalikan nama yang bertahun membuatku
tersenyum juga menangis. Kukembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya.
Aku ingin berbahagia di taman bungaku. Dan kamu, berbahagialah di
hamparan luasmu. Bawa cahayamu jika benar kau ingin jadikanku bulan di
malammu. Lakukan saja, jangan janjikan. Toh, takdir Tuhan, tidak akan
pernah tertukar.
Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu pamit. Ia pamit pada hatinya sendiri.
Tidak ada yang perlu disesali dari
sebuah perasaan yang menyesakkan, karena fitrahnya manusia mengalami
itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak
baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar, menyibukkan diri memperbaiki
kualitas hati dan diri, meyibukkan diri bercerita bersama taman-taman
bunga. Perempuan itu, mungkin nanti juga akan jatuh lagi. Mungkin ia
akan menangis lagi. Tapi, semoga tulisan ini membuatnya ingat, bahwa
takdir-Nya tidak akan pernah tertukar. Semoga tulisan ini membuatnya
tegar. Semoga membuat tegar pula perempuan-perempuan lain yang tengah
jengah oleh rasa sakit, rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit”
mereka.
Kuawali cerita ini dari sebuah “selesai”. Bismillah..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar